Mengapa Merger Mengalami Kegagalan dan Bagaimana Menghindarinya?
I Ketut Gunarta
Tekno Sains Academy
Surabaya
2020
Ringkasan
Akuisisi dan Merger (M&A) mengalami peningkatan dalam jumlah dari waktu ke waktu, namun paling sedikit 50% mengalami kegagalan dalam memenuhi ekspektasi dari sisi keuangan.
Aktivitas Merger dan Akuisisi masih didominasi oleh Negara Amerika Serikat dan Inggris. Dengan meningkatnya jumlah transaksi lintas batas negara, semakin banyak pemain-pemain dari negara lain memasuki lapangan dan turut melakukan aksi korporasi M&A, semakin rumit juga dalam mengelola kompatibilitas budaya antar negara.
Faktor-faktor stratejik dan keuangan saja tidak cukup untuk menjelaskan tingginya kegagalan dari M & A. Perhatian yang lebih besar tertuju pada faktor manusia yang jauh lebih rumit.
Keberhasilan manajemen untuk mengintegrasikan orang-orang dan buadaya organisasinya adalah kunci untuk meraih dampak positif dari M&A.
Tingkat Kegagalan Merger
Alasan Tradisional Kegagalan Merger
Faktor-faktor yang Terlupakan dalam M & A
Faktor Sumber Daya Manusia yang Berhubungan dengan Kegagalan M&A
Perbedaan Antara Merger dan Akuisisi
Istilah merger dan akuisisi sering membingungkan dan terkadang digunakan secara bergantian. Adalah penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara keduanya. Definisi teknis dari kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Merger
Kombinasi dari dua atau lebih perusahaan di mana aset dan kewajiban perusahaan penjual diserap oleh perusahaan pembeli. Meskipun perusahaan pembeli mungkin merupakan organisasi yang sangat berbeda setelah merger, perusahaan tetap mempertahankan identitas aslinya. Penggabungan sama antara XM dan Sirius untuk membentuk Sirius XM adalah contohnya.
Akuisisi
Pembelian aset seperti pabrik, divisi, atau bahkan seluruh perusahaan. Sebagai contoh, akuisisi Oracle terhadap Sun Microsystems adalah transaksi teknologi yang signifikan pada tahun 2009.
Gambar 1
Dari sisi karyawan, apakah transaksi yang terjadi di perusahaan tempat mereka bekerja dikatagorikan sebagai merger atau akuisisi, kejadian itu akan memicu ketidakpastian dan ketakutan akan kehilangan pekerjaan. Namun sesungguhnya ada perbedaan penting antara keduanya.
Dalam akuisisi, kekuatan utama secara substansial diasumsikan dimiliki oleh perusahaan pengakuisisi (new parent). Perubahan biasanya berlangsung dengan sangat cepat (swift) dan seringkali juga bersifat brutal karena pihak pengakuisisi memberlakukan sistem kontrol nya sendiri dan dibatasi oleh kondisi keuangan yang ada. Pihak-pihak yang melakukan merger cenderung lebih serasi dalam hal ukuran, kekuatan dan dinamika budaya yang dimiliki. Integrasi dan perubahan merupakan proses yang cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama.
Hal ini memiliki implikasi bagi individu. Selama akuisisi, sering ada lebih banyak konflik dan perlawanan dan rasa tidak berdaya. Namun, dalam merger, karena periode yang berkepanjangan antara pengumuman awal dan integrasi aktual, ketidakpastian dan kecemasan berlanjut untuk waktu yang lebih lama karena organisasi masih mencari bentuk.
Kompatibilitas Budaya
Proses merger sering disamakan dengan pernikahan. Sebagaimana dalam pernikahan, konflik sering terjadi akibat dari perbedaan kepribadian dan kesalahpahaman yang berakibat pada kesulitan dalam hubungan pribadi. Perbedaan dalam budaya organisasi, masalah komunikasi, dan asumsi yang salah menyebabkan konflik dalam merger.
Merger jarang merupakan perkawinan yang sederajat, dan sebagian besar perusahaan pengakuisisi atau mitra merger yang lebih dominan "memaksakan" penyerapan budaya dan perusahaan yang diakuisisi atau mitra merger yang lebih kecil diharapkan untuk mengasimilasi dan mengadopsi budaya perusahaan pengakuisisi atau yang lebih dominan tersebut. Apakah hasilnya berhasil, sangat bergantung pada kemauan anggota organisasi untuk meninggalkan budaya mereka sendiri dan pada saat yang sama menganggap bahwa budaya lain lebih menarik atau lebih baik dan karenanya layak untuk diadopsi.